Sambil Memejamkan Mata Richard Menembak Brigadir Josua
Semula, Richard ditugaskan selama enam bulan pada Sambo. Masa tugasnya kemudian diperpanjang sampai delapan bulan. Namun, menjelang akhir penugasannya itu, ia justru terseret kasus yang mengancam menghancurkan masa muda sekaligus masa depannya. Padahal, akhir tahun 2022 ini dia berencana pulang kampung ke Manado. Ia menyimpan harapan ingin membahagiakan keluarganya.
Sebelumnya dihadapan tim penyidik Richard bersikukuh bahwa kejadian di duren tiga adalah saling tembak menembak dengan almarhum brigadir Josua.
Penyidik Tim Khusus Polri membawa Richard Eliezer Pudihang Lumiu ke suatu tempat pada akhir Juli 2022. Di hadapan Richard alias Bharada E, berjejer papan sasaran tembak.
Berdasarkan koordinasi Timsus Polri dengan Komnas HAM, Richard lalu diminta latihan menembak dengan Glock-17, pistol yang awalnya disebut ia pakai dalam baku tembak dengan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan.
“[Richard] dibawa [penyidik], dicoba suruh menembak,” ujar Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik kepada kumparan, Selasa (16/8).
Dari hasil latihan menembak, Richard ternyata tidak mahir-mahir amat. Nilainya tak jauh beda dengan hasil latihan menembaknya saat menjalani pendidikan di Pusat Pendidikan Korps Brimob Watukosek, Jawa Timur.
“Dicek datanya, ternyata dia seorang murid sekolah yang dulu pelajaran menembaknya jelek. Disuruh [latihan] menembak, [hasil] tembakannya ngawur semua,” kata Taufan.
Tujuan Timsus Polri mengetes kemampuan menembak Richard adalah untuk mematahkan rekaan Sambo dkk. Sebab, keterangan awal Richard yang merupakan arahan Sambo menyebutkan bahwa Brigadir Yosua tewas karena 5 tembakan Richard. Sebaliknya, 7 tembakan Yosua dari pistol HS-9 yang diarahkan ke Richard, seluruhnya meleset.
“[Penyidik Timsus lalu berkata], ‘Nyatanya kamu enggak bisa menembak dengan baik. Kok berani-beraninya mengaku kamu yang menembak [Yosua],’” kata Taufan menceritakan proses pemeriksaan Richard oleh Timsus.
Richard pun terpojok mendengar ucapan itu. Skor menembaknya yang buruk adalah fakta tak terbantahkan. Dari situ, ia perlahan mau membuka peristiwa yang sebenarnya. Terlebih, ia diberi tahu risiko ancaman penjara yang lama jika tak mau jujur. Ia juga dipertemukan dengan orang tuanya.
Setelah mengalami pergolakan batin selama hampir sebulan, Richard akhirnya menceritakan tragedi berdarah di Duren Tiga secara terang-benderang dalam pemeriksaan tanggal 5 dan 6 Agustus. Keterbukaan Richard itulah yang mengubah sepenuhnya jalan cerita kasus kematian Yosua, dari semula baku tembak menjadi pembunuhan berencana.
Deolipa mantan pengecaranya memutar dua lagu rohani, “Indah pada Waktunya” dan “Hidup Ini adalah Kesempatan”. Richard yang ikut menyanyi lalu menangis tersedu-sedu.
“Buat tenang dulu batinnya supaya nyaman, supaya bisa ceritakan apa adanya, supaya setan di kepalanya keluar,” kata Deolipa.
Dua jam kemudian, pukul 18.00 WIB, Richard mengungkap peristiwa yang sebenarnya di hadapan penyidik dan pengacaranya. Ia bercerita tidak secara lisan, melainkan tulisan.
“Tidak usah ditanya, Pak. Saya tulis sendiri [kejadiannya],” kata Richard seperti ditirukan Irwasum Komjen Agung Budi Maryoto yang juga ketua tim khusus pengusutan kasus kematian Yosua.
Richard pun menuliskan tragedi berdarah di Duren Tiga itu di dalam empat lembar kertas A4. Di tengah penulisan, ia sempat bertanya tentang risiko hukum yang bakal ia terima jika menulis cerita rekaan.
“Saya waktu itu galau dan ketakutan. Kalau saya tidak melaksanakan perintah, mungkin saya yang ditembak.” Ucap Bharada Richard Eliezer kepada pengacaranya, Ronny Talapessy
Saya berada pada waktu dan tempat yang salah. Ucapan Richard Eliezer kepada Ronny, pengacaranya
Sambil memejamkan mata, Bharada Richard Eliezer menarik pelatuk dan melepas tembakan ke arah Brigadir Yosua begitu teriakan Irjen Ferdy Sambo memasuki gendang telinganya—“Tembak, woi. Tembak! Tembak!!”
Comments